Investasi FOREX trading merupakan investasi
yang sangat menjanjikan dimana kita bisa memperoleh profit yang cukup
lumayan dalam waktu yang relatif singkat. Apalagi dengan kehadiran Broker forex online yaitu Marketiva yang memberikan jasa forex signal
di internet, semakin memudahkan setiap orang untuk mendulang profit di
bisnis ini bahkan tanpa harus melewati upaya belajar yang terlalu lama
dan tanpa harus memahami analisa teknikal/maupun fundamental yang
memusingkan kepala.
Penghasilan para trader-trader forex
profesional sangat dan jauh meninggalkan para pelaku-pelaku bisnis
lainnya seperti para pelaku bisnis MLM dan perdagangan konvensional.
Tapi kemudian banyak yang mempertanyakan kehalalan dari hasil yang
diperoleh bisnis forex trading ini dikarenakan sifatnya yang abstrak dan tidak kasat mata.
Sebagian umat Islam meragukan kehalalan praktik perdagangan berjangka. Bagaimana menurut padangan para pakar Islam?
Jangan engkau menjual sesuatu yang tidak ada padamu,” sabda Nabi Muhammad SAW, dalam sebuah hadits riwayat Abu Hurairah.
Oleh sementara fuqaha (ahli fiqih Islam), hadits tersebut ditafsirkan
secara saklek. Pokoknya, setiap praktik jual beli yang tidak ada
barangnya pada waktu akad, haram. Penafsiran secara demikian itu, tak
pelak lagi, membuat fiqih Islam sulit untuk memenuhi tuntutan jaman yang
terus berkembang dengan perubahan-perubahannya.
Karena itu, sejumlah ulama klasik yang terkenal dengan pemikiran
cemerlangnya, menentang cara penafsiran yang terkesan sempit tersebut.
Misalnya, Ibn al-Qayyim. Ulama bermazhab Hambali ini berpendapat, bahwa
tidak benar jual-beli barang yang tidak ada dilarang. Baik dalam Al
Qur’an,sunnah maupun fatwa para sahabat, larangan itu tidak ada.
Dalam Sunnah Nabi, hanya terdapat larangan menjual barang yang belum
ada, sebagaimana larangan beberapa barang yang sudah ada pada waktu
akad. “Causa legis atau ilat larangan tersebut bukan ada atau tidak
adanya barang, melainkan garar,” ujar Dr. Syamsul Anwar , MA dari IAIN
SUKA Yogyakarta menjelaskan pendapat Ibn al-Qayyim. Garar adalah
ketidakpastian tentang apakah barang yang diperjual-belikan itu dapat
diserahkan atau tidak. Misalnya, seseorang menjual unta yang hilang.
Atau menjual barang milik orang lain, padahal tidak diberi kewenangan
oleh yang bersangkutan.
Jadi, meskipun pada waktu akad barangnya tidak ada, namun ada
kepastian diadakan pada waktu diperlukan sehingga bisa diserahkan kepada
pembeli, maka jual beli tersebut sah. Sebaliknya, kendati barangnya
sudah ada tapi – karena satu dan lain hal — tidak mungkin diserahkan
kepada pembeli, maka jual beli itu tidak sah.
Perdagangan berjangka, jelas, bukan garar. Sebab, dalam kontrak
berjangkanya, jenis komoditi yang dijual-belikan sudah ditentukan.
Begitu juga dengan jumlah, mutu, tempat dan waktu penyerahannya.
Semuanya berjalan di atas rel aturan resmi yang ketat, sebagai
antisipasi terjadinya praktek penyimpangan berupa penipuan — satu hal
yang sebetulnya bisa juga terjadi pada praktik jua-beli konvensional.
Dalam perspektif hukum Islam, Perdagangan Berjangka Komoditi (PBK) (forex
adalah bagian dari PBK) dapat dimasukkan ke dalam kategori almasa’il
almu’ashirah atau masalah-masalah hukum Islam kontemporer. Karena itu,
status hukumnya dapat dikategorikan kepada masalah ijtihadiyyah.
Klasifikasi ijtihadiyyah masuk ke dalam wilayah fi ma la nasha fih,
yakni masalah hukum yang tidak mempunyai referensi nash hukum yang
pasti.
Dalam kategori masalah hukum al-Sahrastani, ia termasuk ke dalam
paradigma al-nushush qad intahat wa al-waqa’I la tatanahi. Artinya, nash
hukum dalam bentuk Al-Quran dan Sunnah sudah selesai; tidak lagi ada
tambahan. Dengan demikian, kasus-kasus hukum yang baru muncul mesti
diberikan kepastian hukumnya melalui ijtihad.
Dalam kasus hukum PBK, ijtihad dapat merujuk kepada teori perubahan
hukum yang diperkenalkan oleh Ibn Qoyyim al-Jauziyyah. Ia menjelaskan,
fatwa hukum dapat berubah karena beberapa variabel perubahnya, yakni:
waktu, tempat, niat, tujuan dan manfaat. Teori perubahan hukum ini
diturunkan dari paradigma ilmu hukum dari gurunya Ibn Taimiyyah, yang
menyatakan bahwa a-haqiqah fi al-a’yan la fi al-adzhan. Artinya,
kebenaran hukum itu dijumpai dalam kenyataan empirik; bukan dalam alam
pemikiran atau alam idea.
Paradigma ini diturunkan dari prinsip hukum Islam tentang keadilan
yang dalam Al Quran digunakan istilah al-mizan, a-qisth, al-wasth, dan
al-adl.
Dalam penerapannya, secara khusus masalah PBK dapat dimasukkan ke
dalam bidang kajian fiqh al-siyasah maliyyah, yakni politik hukum
kebendaan. Dengan kata lain, PBK termasuk kajian hukum Islam dalam
pengertian bagaimana hukum Islam diterapkan dalam masalah kepemilikan
atas harta benda, melalui perdagangan berjangka komoditi dalam era
globalisasi dan perdagangan bebas.
Realisasi yang paling mungkin dalam rangka melindungi pelaku dan
pihak-pihak yang terlibat dalam perdagangan berjangka komoditi dalam
ruang dan waktu serta pertimbangan tujuan dan manfaatnya dewasa ini,
sejalan dengan semangat dan bunyi UU No. 32/1977 tentang PBK.
Karena teori perubahan hukum seperti dijelaskan di atas, dapat
menunjukkan elastisitas hukum Islam dalam kelembagaan dan praktek
perekonomian, maka PBK dalam sistem hukum Islam dapat dianalogikan
dengan bay’ al-salam’ajl bi’ajil.
Bay’ al-salam dapat diartikan sebagai berikut. Al-salam atau al-salaf
adalah bay’ ajl bi’ajil, yakni memperjualbelikan sesuatu yang dengan
ketentuan sifat-sifatnya yang terjamin kebenarannya. Di dalam transaksi
demikian, penyerahan ra’s al-mal dalam bentuk uang sebagai nilai tukar
didahulukan daripada penyerahan komoditi yang dimaksud dalam transaksi
itu. Ulama Syafi’iyah dan Hanabilah mendefinisikannya dengan: “Akad atas
komoditas jual beli yang diberi sifat terjamin yang ditangguhkan
(berjangka) dengan harga jual yang ditetapkan di dalam bursa akad”.
Keabsahan transaksi jual beli berjangka, ditentukan oleh terpenuhinya rukun dan syarat sebagai berikut :
Rukun sebagai unsur-unsur utama yang harus ada dalam suatu peristiwa transaksi Unsur-unsur utama di dalam bay’ al-salam adalah:
Pihak-pihak pelaku transaksi (‘aqid) yang disebut dengan istilah muslim atau muslim ilaih.
Objek transaksi (ma’qud alaih), yaitu barang-barang komoditi berjangka dan harga tukar (ra’s al-mal al-salam dan al-muslim fih).
Kalimat transaksi (Sighat ‘aqad), yaitu ijab dan kabul . Yang perlu diperhatikan dari unsur-unsur tersebut, adalah bahwa ijab dan qabul dinyatakan dalam bahasa dan kalimat yang jelas menunjukkan transaksi berjangka. Karena itu, ulama Syafi’iyah menekankan penggunaan istilah al-salam atau al-salaf di dalam kalimat-kalimat transaksi itu, dengan alasan bahwa ‘aqd al-salam adalah bay’ al-ma’dum dengan sifat dan cara berbeda dari akad jual dan beli (buy).
Objek transaksi (ma’qud alaih), yaitu barang-barang komoditi berjangka dan harga tukar (ra’s al-mal al-salam dan al-muslim fih).
Kalimat transaksi (Sighat ‘aqad), yaitu ijab dan kabul . Yang perlu diperhatikan dari unsur-unsur tersebut, adalah bahwa ijab dan qabul dinyatakan dalam bahasa dan kalimat yang jelas menunjukkan transaksi berjangka. Karena itu, ulama Syafi’iyah menekankan penggunaan istilah al-salam atau al-salaf di dalam kalimat-kalimat transaksi itu, dengan alasan bahwa ‘aqd al-salam adalah bay’ al-ma’dum dengan sifat dan cara berbeda dari akad jual dan beli (buy).
Syarat-syarat
Persyaratan menyangkut objek transaksi, adalah: bahwa objek transaksi
harus memenuhi kejelasan mengenai: jenisnya (an yakun fi jinsin
ma’lumin), sifatnya, ukuran (kadar), jangka penyerahan, harga tukar,
tempat penyerahan.
Persyaratan yang harus dipenuhi oleh harga tukar (al-tsaman), adalah,
Pertama, kejelasan jenis alat tukar, yaitu dirham, dinar, rupiah atau
dolar dsb atau barang-barang yang dapat ditimbang, disukat, dsb. Kedua,
kejelasan jenis alat tukar apakah rupiah, dolar Amerika, dolar
Singapura, dst. Apakah timbangan yang disepakati dalam bentuk kilogram,
pond, dst.
Kejelasan tentang kualitas objek transaksi, apakah kualitas istimewa,
baik sedang atau buruk. Syarat-syarat di atas ditetapkan dengan maksud
menghilangkan jahalah fi al-’aqd atau alasan ketidaktahuan
kondisi-kondisi barang pada saat transaksi. Sebab hal ini akan
mengakibatkan terjadinya perselisihan di antara pelaku transaksi, yang
akan merusak nilai transaksi.
Kejelasan jumlah harga tukar. Penjelasan singkat di atas nampaknya
telah dapat memberikan kejelasan kebolehan PBK. Kalaupun dalam
pelaksanaannya masih ada pihak-pihak yang merasa dirugikan dengan
peraturan perundang-undangan yang ada, maka dapatlah digunakan kaidah
hukum atau legal maxim yang berbunyi: ma la yudrak kulluh la yutrak
kulluh. Apa yang tidak dapat dilaksanakan semuanya, maka tidak perlu
ditinggalkan keseluruhannya.
Dengan demikian, hukum dan pelaksanaan PBK sampai batas-batas
tertentu boleh dinyatakan dapat diterima atau setidak-tidaknya sesuai
dengan semangat dan jiwa norma hukum Islam, dengan menganalogikan kepada
bay’ al-salam.
بســـــــم الله الرحمن الرحيـــــــم
Dalam bukunya Prof. Drs. Masjfuk Zuhdi yang berjudul MASAIL FIQHIYAH;
Kapita Selecta Hukum Islam, diperoleh bahwa Forex (Perdagangan Valas)
diperbolehkan dalam hukum islam.
Perdagangan valuta asing timbul karena adanya perdagangan
barang-barang kebutuhan/komoditi antar negara yang bersifat
internasional. Perdagangan (Ekspor-Impor) ini tentu memerlukan alat
bayar yaitu UANG yang masing-masing negara mempunyai ketentuan sendiri
dan berbeda satu sama lainnya sesuai dengan penawaran dan permintaan
diantara negara-negara tersebut sehingga timbul PERBANDINGAN NILAI MATA
UANG antar negara.
Perbandingan nilai mata uang antar negara terkumpul dalam suatu BURSA
atau PASAR yang bersifat internasional dan terikat dalam suatu
kesepakatan bersama yang saling menguntungkan. Nilai mata uang suatu
negara dengan negara lainnya ini berubah (berfluktuasi) setiap saat
sesuai volume permintaan dan penawarannya. Adanya permintaan dan
penawaran inilah yang menimbulkan transaksi mata uang. Yang secara nyata
hanyalah tukar-menukar mata uang yang berbeda nilai.
HUKUM ISLAM dalam TRANSAKSI VALAS
1. Ada Ijab-Qobul: —> Ada perjanjian untuk memberi dan menerima
1. Ada Ijab-Qobul: —> Ada perjanjian untuk memberi dan menerima
* Penjual menyerahkan barang dan pembeli membayar tunai.
* Ijab-Qobulnya dilakukan dengan lisan, tulisan dan utusan.
* Pembeli dan penjual mempunyai wewenang penuh melaksanakan dan melakukan tindakan-tindakan hukum (dewasa dan berpikiran sehat)
* Ijab-Qobulnya dilakukan dengan lisan, tulisan dan utusan.
* Pembeli dan penjual mempunyai wewenang penuh melaksanakan dan melakukan tindakan-tindakan hukum (dewasa dan berpikiran sehat)
2. Memenuhi syarat menjadi objek transaksi jual-beli yaitu:
* Suci barangnya (bukan najis)
* Dapat dimanfaatkan
* Dapat diserahterimakan
* Jelas barang dan harganya
* Dijual (dibeli) oleh pemiliknya sendiri atau kuasanya atas izin pemiliknya
* Barang sudah berada ditangannya jika barangnya diperoleh dengan imbalan.
* Dapat dimanfaatkan
* Dapat diserahterimakan
* Jelas barang dan harganya
* Dijual (dibeli) oleh pemiliknya sendiri atau kuasanya atas izin pemiliknya
* Barang sudah berada ditangannya jika barangnya diperoleh dengan imbalan.
Perlu ditambahkan pendapat Muhammad Isa, bahwa jual beli saham itu diperbolehkan dalam agama.
لاتشترواالسمك فیالماءفاءنه غرد
“Jangan kamu membeli ikan dalam air, karena sesungguhnya jual beli
yang demikian itu mengandung penipuan”. (Hadis Ahmad bin Hambal dan Al
Baihaqi dari Ibnu Mas’ud)
Jual beli barang yang tidak di tempat transaksi diperbolehkan dengan
syarat harus diterangkan sifat-sifatnya atau ciri-cirinya. Kemudian jika
barang sesuai dengan keterangan penjual, maka sahlah jual belinya.
Tetapi jika tidak sesuai maka pembeli mempunyai hak khiyar, artinya
boleh meneruskan atau membatalkan jual belinya. Hal ini sesuai dengan
hadis Nabi riwayat Al Daraquthni dari Abu Hurairah:
من سترئ شيتالم يرهفله الخيارإذاراه
“Barang siapa yang membeli sesuatu yang ia tidak melihatnya, maka ia berhak khiyar jika ia telah melihatnya”.
Jual beli hasil tanam yang masih terpendam, seperti ketela, kentang,
bawang dan sebagainya juga diperbolehkan, asal diberi contohnya, karena
akan mengalami kesulitan atau kerugian jika harus mengeluarkan semua
hasil tanaman yang terpendam untuk dijual. Hal ini sesuai dengan kaidah
hukum Islam:
المشقة تجلب التيسر
Kesulitan itu menarik kemudahan.
Demikian juga jual beli barang-barang yang telah terbungkus/tertutup,
seperti makanan kalengan, LPG, dan sebagainya, asalkam diberi label
yang menerangkan isinya. Vide Sabiq, op. cit. hal. 135. Mengenai teks
kaidah hukum Islam tersebut di atas, vide Al Suyuthi, Al Ashbah wa al
Nadzair, Mesir, Mustafa Muhammad, 1936 hal. 55.
(Dihimpun dari beberapa sumber)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar